Selamat Pagi!

Seperti biasa….

Sekitar jam tujuh pagi –karena aku memang tidak pernah tepat jam tujuh- aku memulai aktifitas hari ini. Mitsubishi L-200 Strada yang setia menemaniku selama aktifitas di sini, menderu mengiringi Bismillah-ku. Orang kebun yang hendak menumpang ke kebun sudah menunggu sedari tadi di jalan depan rumah. Jalan di depan cukup curam, jadi kami ekstra hati-hati saat keluar gerbang. Berhenti sebentar untuk memberi kesempatan orang kebun naik di bak kendaraan. Beberapa diantaranya membawa jerigen duapuluh literan sebagai tempat menampung ‘cap tikus’. Minuman keras khas minahasa hasil permentasi dari pohon aren. Di sini menjadi salah satu mata pencaharian. Memasuki bulan Desember ini para pengusaha ‘cap tikus’ harus meningkatkan kapasitas produksinya karena tingginya permintaan untuk persiapan natal dan tahun baru. Minuman ini biasanya dihidangkan bersama bir, kesegaran, coca cola, sprite dan lain lain kepada tamu-tamu yang datang ke rumah. Maka berpestalah mereka dengan mabuk dan musik jeb ajeb. Begitulah mereka melewati hari-hari bahagia mereka.

Melintasi jalan desa yang sudah diaspal, sumbangsih dari perusahaan tambang sebagi wujud dari tanggung jawab social perusahaan, corporate social responsibility, beberapa penduduk desa yang bekerja di tambang banyak ditemui di pinggir jalan menunggu bus jemputan karyawan. Demi menjaga hubungan baik, kami senantiasa mengucapkan selamat pagi dengan klakson atau lambaian tangan saat melintasi di depan mereka.

Pemandangan di sepanjang jalan yang kulalui saat memasuki areal tambang, bahkan mulai dari ujung kampung, berangkat atau pulang, selalu terlihat indah. Jalanan kerikil yang sempit, kadang mendaki kadang menurun, terjal denganderetan pohon kelapa di kiri kanan jalan. Diselingi rimbunnya ilalang dan satu dua kebun masyarakat kampung. Di sini yang disebut kampong untuk ukuran di jawa secara administratif adalah sebuah desa dengan kepala pemerintahannya disebut Hukum Tua. Dalam panggilan sehari-hari biasanya disingkat ‘kum tua’. Sangat logis dan beralasan, dengan daerah luas dan berbukit, jumlah penduduk yang masih sedikit, tersebar berjauhan di setiap pelosok, maka pemekaran wilayah menjadi tuntutan alami dalam menjaga efektifitas dan efesiensi pemerintahan daerah. Akibatnya jumlah penduduk sebuah desa sama dengan ukuran kampung di jawa. Di bawah desa ada ‘Jaga’ dipimpin oleh ‘kepala jaga’. Mirip-mirip RT kalau di Jawa. Bisa mencapai enam Jaga dalam sebuah Desa. Bisa dibayangkan seperti apa kehidupan bermasyarakat di sana. Ketaatan masyarakat kepada pemerintah sangat terlihat. Apa ada di daerah lain yang setiap pemuda desanya bergiliran menaikan bendera merah putih setiap pagi dan menurunkannya setiap sore? Kegiatan itu disini disebut ‘jaga negeri’. Hebat.

Perjalanan pagi ini sampai di Pos Masuk areal tambang. Setiap yang masuk mengalami pemeriksaan dan melengkapinya dengan peralatan standar keselamatan di areal tambang. ID card, rompi, helmet, safety shoes dan kaca mata. Tapi, biasanya pada saat masuk sih tidak terlalu dipermasalahkan kecuali saat bekerja.Untuk kendaraan wajib memakai lampu rotary. Kendaraan yang biasa masuk harus terregistrasi yang ditandai dengan stiker temporary di kaca depan. Yaitu stiker warna dengan hurup ‘T’ yang diperbaharui setiap enam bulan. Sama seperti halnya ID card.

Semua penumpang kendaraan turun dan melewati pemeriksaan dengan sistim random check. Setiap orang  mengambil kartu dalam kotak yang diletakkan lebih tinggi dari kepala. Jika dapat kartu merah berarti dia harus melewati metal detector. Jika dapat kartu hijau, silahkan terus. Silahkan kembali jika tertangkap tidak membawa ID card.

Memasuki areal tambang, ini adalah bagain yang paling menyenangkan dalam aktifitas harianku, mataku dimanjakan oleh pemandangan luar biasa indah –dan tidak pernah membosankan karena selalu menampilkan view yang berbeda setiap hari walaupun landskapnya sama- dari dataran tinggi toka tindung. Yang akan selalu aku ingat dan selalu aku nanti adalah sesaat setelah melewati pos alfa tadi, pemandangan Gunung Dua Saudara yang menjulang berdampingan berbingkai pohon kelapa tinggi di kiri kanan jalan. Kontur gunung begitu terlihat. Bukit-bukit kecil ‘kano-kano’ di depanya yang hijau laksana permadani membungkus gundukan bukit menambah semarak pemandangan setiap pagi. Seorang kawanku berseloroh dengan mengkhayalkan enaknya bisa berguling-guling di atas hamparan kano-kano tersebut. Padahal kalau didekati hamparan kano-kano tersebut adalah ilalang setinggi orang dewasa.

Yang tidak kalah menariknya adalah hamparan pohon kelapa di bawah sana, di sebelah kiri jalan yang selalu terlihat hijau sepanjang tahun. Dari jauh terlihat berbatasan langsung dengan bibir laut pasifik. Terlihat jelas dari atas sini pesisir pantai Kalinaun, Rondor dan sebagain kawasan laut Batu Putih serta pulau kecil di sekitarnya. . Lokasi tambang tempatku bekerja saat ini memang berada persis di ujung utara pulau Sulawesi.

Sungguh, belum pernah kutemui pemandangan seperti ini selama hidupku. Pemandangan laut dan gunung dalam satu paket. Dan, berngkat kerja pun menjadi sangat menyenangkan. Kurasakan seperti berangkat piknik

Sekitar empat puluh lima menit kemudian –lagi lagi aku memang tidak pernah tepat waktu- sejak jam keberangkatan tadi, aku sampai di lokasi kerja. kicau burung di hutan sekitar lokasi kerja menyambutku saat aku membuka pintu mobil. Dan perjuangan hari ini pun di mulai……

Pembangkit Listrik Tenaga Rica

Sudah seminggu ini tiap makan sahur harus gelap-gelapan. Hanya ditemani cahaya lilin. Usut punya usut ternyata Manado khususnya, umumnya Sulawesi Utara mengalami krisis energi. Menurut informasi, karena kurangnya debit air sebagai sumber daya untuk memutarkan turbin PLTA Tanggari I dan II di Danau Tondano. Sementara sembilan pembangkit tenaga diesel di Bitung yang diharapkan dapat menutupi defisit listrik, hanya berfungsi satu pembangkit. PLN sampai saat ini hanya mampu memasok listrik berkisar antara 105 – 111 Mw. Sementara kebutuhan listrik saat beban puncak bisa mencapai 128 – 130 Mw.

Solusi ke depan, harus ada upaya peningkatan kemampuan listrik di Sulut. Salah satunya dari energi panas bumi yang sangat potensial. Diperkirakan lahan panas bumi di Sulut bisa menghasilkan listrik mencapai 500Mw. Maka bukan hanya masalah pemadaman bergilir yang bisa diatasi, daftar tunggu di PLN Suluttenggo yang mencapai 78 Mw bisa dipenuhi.

Selain itu, perlu dihimbau agar masyarakat pengguna listrik dapat menghemat listrik setidaknya 50 Watt tiap malam. Penghematan ini menurut PLN bisa menjaga listrik samapai 12,5 Mw. Hal ini akan mengurangi pemadaman dan makan sahur tidak lagi dalam temaram cahaya lilin….Candle Light Sahur!

Terakhir….

Mungkin ide teman saya bisa dipakai, yaitu menggunakan PLTR atau Pembangkit Listrik Tenaga Rica. Rica kan pedas, maka akan menghsilkan panas. Cadangannya pun melimpah. Karena orang Manado sangat menyukai pedas. Siapa tahu…..

Tuhan, Cinta Dan Idealisme

“Cinta tidak perlu didiskusikan; cinta memiliki suaranya sendiri dan bicara pada dirinya sendiri.” (Paulo Coelho).

Sungguh saya tidak bermaksud mendiskusikan cinta. Saya hanya ingin mencuri dengar pembicaraan cinta pada dirinya.

Indah sekali kalau cinta sejati difahami sebagai cinta yang tidak bersyarat. Tidak perlu syarat artinya tidak ada kriteria. Cinta dikembalikan pada tempatnya. Hati. Disanalah cinta semestinya bertahta sebagai buah emanasi dari Sang Maha Cinta.

Saya ingat rasa itu mulai berkecambah di 13 Agustus. Ingin terus saya simpan untuk ‘Yang Satu’. ‘Yang satu yang akan menjadi putih diantaranya’. Karena ‘aku…. bukan apa-apa untuk sesiapa’. Demi Allah! Logika terjungkal-jungkal memaknai saat-saat itu.

Kahidupan ini memang tidak dilengkapi dengan gugus kendali mutu terhadap nilai-nilai yang kita anut. Bahkan seringkali nilai-nilai harus melakukan kompromi terhadap kehidupan. Demi menjaga nilai-nilai yang kita anut, kita harus melakukan komitmen dengan kehidupan. Idealisme adalah komitmen kita dengan kehidupan. Ini adalah persaksian kosmis. Idealisme adalah dimensi actual peradaban cinta. Pada sisi lain, cinta adalah proyeksi spiritual-operasional eksistensi Tuhan.

Memang sulit mengaplikasikan nilai-nilai yang kita anut. Akhir-akhir ini, rasa yang pernah berkecambah di 13 Agustus itu, seiring dengan deru kehidupan, perlahan mulai pudar. Menguap bersama angan. Tapi, saya tidak boleh menyerah untuk memulihkannya kembali. Karena itulah satu-satunya idealisme yang kokoh. “..seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.”

R, jangan menyerah untuk mewujudkan idealisme-idealisme dalam hidup R, sejauh itu bersumber dari suara hati. Hanya itu yang bisa membuat R ‘…masihkan ada, menunggu waktu untuk tak ada’. Bahkan di saat tak ada pun, R akan selalu ada. Bukankah R ‘ingin selalu ada’?

Dan, Hanya itu pula lah yang bisa kita banggakan di hadapan Sang Kekasih pada perjumpaan agung kelak. Bayangkan senyumNya saat kita mempersembahkan hasil perjuangan kita….

 

Sebuah Perjalanan

Ternyata sulawesi utara menawarkan lebih banyak hal daripada Kalimantan Timur. Ruang inspirasi yang dulu sangat aku rindukan saat di Kalimantan Timur, di Sulawesi Utara aku menemukannya walaupun tidak berlimpah. Aku tidak tahu kenapa, dulu aku begitu yakin menerima tawaran ke Manado daripada Padang usai menunaikan tugas di Tenggarong, Kalimantan Timur. Padahal aku tahu hanya akan berangkat sendiri. Tidak ada orang yang aku kenal satu pun di sana. Berbeda sekali saat aku akan berangkat ke Samarinda dulu. Di sana sudah ada kawan-kawan seperjuanganku waktu di Jakarta. Ada Rinto dan timnya dari Cakung. Aku juga waktu itu berangkat sekaligus satu tim. Tidak ada yang perlu dikawatirkan sedikitpun. Sensasinya beda, saat landing di Sepinggan dengan di Sam Ratulangi. Kalau di Sepinggan berasa mau piknik en langsung ngerasa at home. Apalagi suasana di camp tenggarong asik banget.

Sedangkan di sini, aku butuh waktu tiga bulan untuk melakukan adjustment terhadap lingkungan baruku. Sepulang cuti periode pertama bulan maret lalu aku baru bisa merasa at home.

Proyek di Manado ternyata tidak berjalan mulus. Harus menghadapi pejalnya ‘batuan politik’-menurut istilah Bernard C Korah, pengamat pertambangan, di koran lokal. Defosit emas 1,75 juta once di lahan konsesi seluas 741.125 Ha menunggu hasil pertarungan kepentingan investasi dan lingkungan, untuk dimanfaatkan. Sang penguasa daerah keukeuh tidak akan mengeluarkan izin operasi dengan berbagai dalih. So, investasi senilai 200 Juta Dolar AS itu sampai sekarang masih terkatung-katung di sana.

Padahal Indonesia saat ini masih membutuhkan investasi untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi yang berimplikasi pada 110 juta jiwa penduduk yang hidup dengan penghasilan kurang dari US $ 2 atau kurang dari Rp 18 ribu rupiah per hari dan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia yang pada tahun 2006 mencapai 11,4 juta jiwa atau 10,6 persen dari angkatan kerja.

Aku harus akui betapa eloknya panorama sekitar lokasi tambang. Dari atas sini, di kejauhan laut biru terlihat indah dengan pulau-pulau yang sambung menyambung. Sebelum melihat laut, pandanganku menyusuri hamparan pohon kelapa. Sulawesi utara memang di kelilingi pantai. Malalayang, kalasey, moinit, pakin, tasik ria, likupang, Surabaya, paradise, kalinaun, rondor, lembeh, boulevard, dan banyak lagi. Sejumlah pertokoan di Manado dibangun di tepian pantai dengan cara reklamsi pantai. Menghadirkan keasikan tersendiri saat melintasinya. Struktur tanahnya yang berbukit mengakibatkan jalan-jalan di kota Manado menjadi turun naik. Mengingatkanku pada jalan-jalan di sebagain besar daerah di Jawa barat. Seperti jalur sepanjang sumedang-bandung, garut: saat aku main-main ke gunung papandayan, tasik: ziarah ke gua pamijahan. Bogor: taman cibodas, safari, mekar sari.

Dan yang pasti….

Di sini ada lebih banyak uang yang tersisa untuk mewujudkan mimpiku yang lain. Ke luar negeri misalnya.

Seandainya kesempatan itu memang ada, aku ingin ke Spanyol. Aku ingin melihat jejak peradaban hebat yang pernah dibangun oleh generasi terbaik manusia di sana selama 800 tahun. Cordova, Granada, Gibraltar. Dinamika intelektual pada masa itu melahirkan banyak pemikir-pemikir besar seperti Ibnu Sina, di barat dikenal aveciena, ahli fisika dan matematika abad 11. abad 12 ada Ibnu Rushd, barat menyebutnya Averoes, rasionalis terbaik yang pernah dimiliki dunia. Pemikirannya adalah harmonisasi akal dan wahyu. Menjadi hakim agama di Seville dan Cordova. Selain itu ada Ibnu Khaldun, Ibnu Hazam, al-Farabi, Muhammad bin Ahmad, Muhammad Bin Musa Al-Khawarizmi, dan lain-lain.

Negeri satu laginya…saoedara toea, Jepang!

Aku pengen merasakan dari sumbernya langsung spirit BUSHIDO yang mampu mengantarkan jepang menjadi negara maju yang diperhitungkan walaupun tahun 1945 luluh lantak dihajar bom atom. Dan, tetap memelihara identitas bangsanya. Aku ingat dalam film the last samurai, bagaimana Kaisar Meiji berpidato setelah mengalahkan kaum samurai dan pemimpinnya (duh, aku lupa siapa namanya!…). Masya Allah! Pidato lengkapnya juga aku lupa. Tapi intinya, bangsa jepang bertekad untuk maju tanpa melupakan identitas bangsa.

Doain….ya…

Haik…..

 

 

Karawang Undercover: Sebuah Kilas Balik

Episode yang paling menakjubkan dalam sepanjang hidupku, setidaknya sampai saat ini, adalah masa-masa selama aktifitas di Karawang. Saat itu aku mengalami pergolakan batin yang luar biasa. Emosi denga mudah melompat, kemerdekaan-berpikir, bersikap dan tingkah laku, aku dapatkan dalam arti yang tidak pernah saya bayangkan. Aktifitas bukan sekedar berangkat dari rumah, pulang lalu terlelap. Mobilisasi bukan melulu soal gerakan perpindahan tempat. Tidak ada tempat transit. Karena tempat transit pun seringkali mengharuskan bergerak. Aktifitas dan mobilisasi mengalami peluruhan definisi dan kehilangan orientasi kata-kata. Sederhananya, apa sebutannya jika menggali gagasan, menyusun strategi, bertahan, mengurai masalah sambil menggelinding?

Aku nyaris tidak bisa mengenali anomali biologis yang terjadi dalam tubuhku. Syarafku telah salah kaprah memindai ‘error processing’ pada metabolisme. Sakit, bagiku saat itu adalah denyut jantung, lelah adalah desah nafas, kata-kata adalah tetesan peluh.

Kurang lebih lima tahun lamanya aku berjuang di sana. Mencoba memberi sedikit arti, beri penekanan khusus pada kata ‘arti’ bisa berarti eksisitensi, pada hidupku. Mimpi-mimpi kubangun, harapan kusemaikan dan masa depan kurentas. Sedikit demi sedikit kenyataan hidup menemukan bentuknya. Seperti ketika bumi beranjak meninggalkan fajar lalu menyambut matahari pagi. Temaram. Kemudian berpola.

Titiknya bermula dari perumahan singaperbangsa, bergeser ke Johar Permai. Pada fase ini aku juga punya titik lain. Kawan-kawan menyebutnya ‘Camp Davis’ (keren,kan?). meniru tempat peristirahatannya presiden negeri paman sam. Posisinya di Adiarsa. Dari sana bergerak ke Johar Indah. Pada fase ini aku punya dua titik lain, yaitu Posko Hijau di depan pemakaman umum di Adiarsa dan Singaperbangsa Blok. D. Dari sana bergerak jauh ke belakang kantor PEMDA. Terus ke pojok lapangan Karang Pawitan. Sampai akhirnya berlabuh di Gedung MUI, kompleks Mesjid Agung Al-Jihad. Aku sudah tidak asing lagi dengan pelabuhan terakhir itu. Sebelumnya juga selama masa-masa itu, semua agenda penting digelar di sana.

Banyak hal telah diajarkan dalam episode itu. Seperti politik….misalnya. (sebuah email dari salah seorang senior mengingatkanku pada dunia yang satu ini sekaligus menjadi pemicu munculnya kenangan itu. Maka diskusi pun terjadi dalam dunia maya). Walaupun, aku tahu, sekedar pinggirannya saja. Nun jauh di dalam sana pasti lebih dahsyat….kebusukannya.

“Gibah dan fitnah ada di sana.” Begitu komentar seorang akhwat, aku tidak berniat primordial menggunakan panggilan itu, dari Fakultas Agama Islam, saat kutanya pandangannya dalam sebuah kesempatan suksesi kepemimpinan organisasi.

“Dunia politik bagi kanda sebuah aktualisasi diri dalam upaya rahmatan lil ‘alamin, berbagi suka, memberikan pakaian bagi yang telanjang, memberikan tongkat bagi yang buta.” Ajaran lanjutan dari senior tadi dalam emailnya. Masih terngiang jelas dalam kepalaku dengan doktrin ‘gelas kosong’-nya dalam obrolan panjang di perpustakaan kampus pada masa-masa awal di Karawang. Kena! Aku pun termotivasi.

Tapi sayang sekali, selanjutnya aku berseberangan dengan beliau secara politis. Aku merasa tidak nyaman berada dalam gerbongnya. Aku lebih memilih gerbong ‘Johar Permai’ dari pada ‘Ronggo Waluyo’. Seorang senior ‘Johar Permai’ menyebut KPS (Kelompok Penganut Spiritual) pada ‘Ronggo Waluyo’ untuk mendefinisikan kedekatan mereka pada mistisisme. Tapi sungguh, aku tidak mempermasalahkan itu. Karena aku sendiri menyukai hal-hal yang berbau mistis. Masa-masa remajaku pernah bersentuhan dengan dunia itu. Aku senang mendengar cerita mereka tentang membuka hijab diri. Guru spiritual mereka mampu menerawang wujud diri setiap orang. Dari segi konsep, seperti salah satu varian amalan yang pernah aku lakukan dulu. Aku ingat namanya ‘Jujur Wujud Kulo’. Tapi, berdasarkan cerita mereka, teknisnya lebih halus. Menurutku itu sekedar salah satu pintu gerbang bertemu Allah. Inti ajarannya berangkat dari ayat Qur’an yang mengatakan bahwa barangsiapa tidak mengenal dirinya, maka tidak akan mengenal Tuhannya. Ah, sudahlah aku tidal terlalu interest dengan metode itu lagi sekarang. Makanya aku tidak terlalu mempermasalahkan hal itu dalam pilihan sikap politik-ku. Reasoning-nya hanya psikologis. ‘Johar Permai’ gue banget, getuh! Sedikit pun tidak ada kalkulasi politik. Asli perasaan! Dan ini diharamkan di dunia politik. Sebuah pelajaran berharga. Akhirnya aku menjadi naïf dalam dunia yang satu ini. Upahnya adalah kegagalan. Tapi sampai sekarang aku belum merasa gagal. Walaupun saat ini aku memilih dunia lain. Profesional.

Aku sepakat dengan kanda di sana dalam email-nya, “Pada saat kita terjun ke dalam dunia politik kanda ingin infrastruktur yang kanda miliki udah lengkap semua termasuk modal karena dalam dunia politik kanda tidak mau terjebak dalam dualisme kebutuhan. Masih mencari periuk nasi dalam dunia politik.” Seperti aku saat ini, beliau saat ini memang sedang bergelut dalam dunia professional. Padahal infrastruktur yang telah beliau bangun selama di Karawang akan dengan mudah mengantarkannya dalam dunia politik.

“Saya pikir ini bukan soal pelarian ataupun pengasingan. Ini soal upaya reposisi peran dinda dalam masyarakat sekaligus menyoal realitas dalam carut marut sopan santun politik. Apakah pilitik suatu ranah yang bebas nilai? Dan setiap kebatilan dalam pilitik dianggap wajar ‘karena inilah pilitik’? ( kalau orang sebermartabat Amien Rais saja korupsi, misalnya, apakah kita masih berani bilang wajar ‘karena inilah politk’?).” Itulah email jawabanku.

Lebih dari pada itu, aku rindu suasana-suasana itu. Diskusi-siskusi panjang yang melenakan, obrolan-obrolan nyeleneh tentang Tuhan, surga, hisab, takdir. Merumuskan ulang peran Tuhan di dunia. Menyusun metode untuk mengubah kebijakan Tuhan dan rasionalisasi iman. Walupun aku tidak semahir kawan-kawan dalam berdebat, aku senang berada di tengah-tengah mereka.

Aku biasa melakukan diskusi banyak hal bersama kawan-kawan di banyak tempat di Karawang. Seperti warung-warung pecel di sekitar lapangan Karang Pawitan, warung kopi di depan Mesjid Agung Al-jihad, warung kopi di depan Gedung Pemuda, gerobak bubur kacang ijo di depan GOR Panatayudha (seorang kawan menyebut aktifitas di sana dengan sebutan ‘Karawang UnderGor’-maksa banget ya?-). Kadang-kadang kata akhir di forum dirumuskan di tempat itu. Forum hanya menjalankan mekanisme, lalu bersandiwara.

Begitu banyak hal aku lalui di sana. Mengingatnya hanya akan membuatku semakin meradang didera rindu. Kalau sejarah peradaban Islam punya masa keemasan selama 800 tahun di spanyol, aku punya 5 tahun masa menyenangkan di Karawang. Sekalipun tanpa cinta seorang wanita!

Jika kutuliskan saat ini akan menghabiskan tempat berlembar-lembar. Kerena setiap hari adalah kenangan.

Lantas untuk apa semua ini?

Popularitas?sebuah rancangan hidup? Pemuasan Ego? Libido petualangan? Sebuah pencarian……surga?

Adam Smith: selalu ada motif akumulasi kapital.

Sigmund Freud: Dorongan seks adalah agen tunggal penggerak langkah manusia.

Karl Mark: Tesis Dialektika sejarah!

Semuanya…Iya!

Hasilnya aku tidak mendapatkan apapun.

Sepertinya ada yang harus kurumuskan ulang…..

 

Suntung

Matahari sudah sejak tadi menutup tugasnya hari ini dengan tenang. Menyisakan semburat jingga di kaki langit. Jelas terlihat jejaknya dari pesisir pantai timur Sulawesi Utara, pantai rondor. Perlahan namun pasti jejaknya lenyap seiring semakin dalam wajah sang surya tenggelam di balik gunung perbukitan Toka Tindung dimana sebuah proyek tambang emas terkatung-katung ‘menanti sebuah jawaban’-di sanalah aku berkarya saat ini-, membawa segumpal do’a ‘semoga esok kita masih bisa bertemu’.

Tanpa kusadari di atas sana, bulan tersenyum manja memikat angin untuk berhembus perlahan. Gulungan demi gulungan tali pancing ‘Damyl’ telah kuurai. Aku gulung jadi satu dalam satu ‘kelosan’. Butuh kehalian tersendiri untuk mengurai gulungan tali pancing yang baru. Kuikatkan ujung talinya pada umpan buatan yang khusus untuk memancing suntung atau cumi-cumi. Umpan itu berbentuk udang dengan warna-warna tertentu. Terbuat dari kayu atau fiber. Ujungnya terdapat pengait yang berbaris melingkar. Ada dua baris lingkar pengait. Pengait inilah yang akan mengait mulut cumi saat dia makan umpan tersebut.

Malam ini memang aku akan ke laut untuk memancing cumi. Karena malam ini bulan masih terang. Cumi hanya bisa dipancing pada saat terang bulan.

Setelah bulan tanggal belasan mulai beranjak naik, aku dan dua orang temanku menghela perahu menuju lokasi yang biasanya banyak terdapat suntung. Badanku menggigil diterpa angin malam di laut. Perahu ‘katinting’ terus melaju membelah ombak. Menyisakan percikan air laut di wajahku. Membuat badanku semakin menggigil. Kami beruntung bahwa cuaca sangat bagus. Langit cukup cerah. Cahaya bulan sangat leluasa menyiarami laut disekitarku dan semua yang ada di permukaannya. Bahkan saat berada di pesisir pantai, cahaya bulan mampu menerangi dasar laut. Dan, tidak sepeti beberapa hari sebelumnya, saat aku mincing di laut siang hari, ombak sangat kuat mengombang-ambingkan perahu. Malam ini laut begitu tenang menghantarkan sensasi melayang yang tidak bisa dirasakan di darat. Di sekitarku bertaburan lampu-lampu ‘bagang’. Lampu-lampu dari ‘kapal pajeko’ yang berderet menambah semarak laut malam ini. Di kejauhan sana tampak pantai pasir putih memanjang pada tiga tempat berbeda. Bersinar dalam temaram dengan latar belekang bukit yang gelap. seperti sehelai daun tua, menguning di atas batu. Sayup-sayup terdengar debur ombak membelai bibir pantai. Pecah menerjang karang. Sepertinya laut masih ingin bermain-main dengan dengan pasir. Pohon-pohon kelapa di pantai dengan tulus menemaninya bermain dengan menggesek-geskan daunnya. Angin pun tidak ingin melewatkan keriangan malam itu, menyusup di sela-sela batang, dahan dan daun. Menciptakan suara bersiut-siut penuh kegembiraan. Kecipak air dalam rengkuhan dayung semakin membenamkan kami dalam keriangan alam. Semua yang ada di atas perahu terdiam. Hening. Merepih alam. Seluruh penghuni alam malam itu seperti bertasbih. Bulan, laut, pohon, pasir, karang, pulau….manusia. Subhanallah…..aku pun ikut larut dalam tasbih.

Tuhan telah melimpahkan karunianya bagi masyarakat minahasa. Pemandangan alam yang elok, kekayaan bumi yang berlimpah. Kopra, cengkeh, ikan, mineral dari perut bumi. Sudah seharusnya negeri ini menjadi negeri kaya seandainya saja semuanya dapat diolah dengan baik.

“Dapat!” satu teriakan membuyarkan lamunanku. Seekor suntung telah tertipu. Korban (ah, rejeki kaleee…..)pertama. Tidak terlalu besar.

Ada yang salah dalam pengelolaan kekayaan alam di negeri ini sehingga potensinya tidak dimanfaatkan dengan maksimal, kalau tidak ingin dibiarkan terbengkalai. aku sudah melihat banyak objek-objek wisata yang luar biasa bagus tapi tidak tertata dengan baik –ini sekedar salah satu contoh pemanfaatan potensi yang tidak maksimal-.

Menjelang pagi kami meluncur pulang membawa hasil lima ekor suntung. Cukup besar-besar. Suntung terbesar yang pernah aku lihat.

Tepat jam tiga pagi aku sampai di Manado. Puas dan lelah menghantarkan tubuhku dalam tidur. Dan, Astagfirullaahal’adziim….subuhku terlewat……

The Sailorman

Perahu sekecil ini, apakah mampu menerjang ombak samudra pasifik?

Seutas keraguan membelit hatiku ketika melihat ukuran perahu yang akan kunaiki untuk memancing di laut.

Tenang aja….perahu ini sudah teruji. Setiap hari dia pergi ka laut. Aku berusaha meyakinkan diri.

Bayangkan! Panjang 7 meter, ruangan hanya selebar pantat orang dewasa dengan berat normal. Daya angkut pun hanya maksimal 4 orang dewasa. Sebuah motor dengan kekuatan 5.5 PK.

Jangan takut! Perahu ini enggak mungkin terbalik. Ada sayap pengaman di sampingnya.

Pak Adri, pemilik perahu sekaligus pemandu, seperti dapat membaca keraguanku.

Nenek moyangku seorang pelaut, tapi aku baru kali ini ke laut….

Jangkar diangkat, tali tambat dilepas, peralatan diangkut ke perahu, perahu pun melaju perlahan membelah ombak pantai Rondor.

Cuaca begitu tenang. Langit temaram tanpa matahari. Sebuah keuntungan tersendiri tanpa terik matahari. Sebuah petualangan baru di mulai!

Semakin cepat laju perahu, makin deras air laut memercik ke wajahku. Di haluan ada Al , petugas jangkar, di belakangnya ada pak Jon, lalu aku. Dan di buritan ada pak Adri, mengendalikan perahu dengan motor.

Tidak sampai sepenghisapan sebatang rokok, kami sampai di lokasi yang disinyalir terdapat banyak ikan.

“Al, lempar akang tu jangkar!” Perintah Pak Adri

“Oke.”

Acara memancing pun dimulai….umpan dipasang lalu cukup masukan ke laut tanpa menggunakan tangkai pancing. Tunggu beberapa saat….

Satu…dua…tiga…empat…

Tidak terasa tangkapan hari ini lumayan banyak dan besar-besar.

Sesaat di kejauhan burung-burung laut berputar-putar terkonsentrasi di satu tempat.

Menurut keterangan Pak Adri itu tanda-tandanya ikan ‘baubara’ berkumpul di sana sedang makan ikan ikan kecil.

Baubara adalah jenis ikan pavorit bagi pemancing di laut. Besar dan enak dagingnya kalau dibakar. Untuk mendapatkannya menggunakan teknik yang berbeda dengan memancing biasa. Menggunakan mata kail yang besar dan pada pangkalnya dipasangi bulu-bulu berwarna untuk menarik perhatian ikan. Tidak diam tapi perahu terus melaju sambil mengulur tali pancing sekitar lima belas sampai dua puluh ‘depa’ mengitari atau membelah kerumunan ikan tersebut. Biasanya pertarungan dengan ikan itulah yang sangat seru. Sayang kali ini aku belum mendapatkan kesempatan menikmati serunya, karena dua tali pancing khusus kami putus.

Akhirnya sekitar pukul enam sore, saat langit mulai gelap, kamu meluncur pulang tanpa ‘baubara’.

Ah, laut memang menyimpan pesonanya tersendiri…..

THE ESQ Way 165: Untuk kembali

Dari training ESQ…..

Aku mengalami sensasi yang luar biasa. Ada energi besar yang terbangkitkan. Aku tidak tahu energi apa itu. Alunan instrument musik yang lembut mengiringi hampir sepanjang sesi, mengantarkan semua yang ada di ruangan dari dimensi beta (concius/sadar) ke dimensi alfa (sub concius/pra sadar). Efek Mozart!
Materi disajikan penuh teaterikal. Tata suara yang menggelegar, dari brosur disebutkan bisa mencapai 10.000 Mw- rasanya tidak akan sekuat itu jika dalam Ballroom Hotel Ritzy-, menghentak jantung. Pesan-pesan dari Qur’an dibacakan penuh ekspresi dan intonasi yang sesuai. Di depan sana dua layar besar menampilkan simulasi dan gambar-gambar seirama dengan isi pesannya. Tampilan planet-planet, bintang-bintang dan alam semesta dan proses kejadiannya begitu dominan. Seperti mencoba memaknai kebesaran Allah dalam ukuran.
Selalu ada derai air mata, isak tangis, rintih pilu, teriakan tertahan, kata-kata tersendat dalam do’a menyesaki ruangan saat pembahasan sampai kepada negasi prilaku terhadap pesan-pesan Al-Qur’an. Seluruh isi ruangan terlelap dalam ekstase, termasuk juga aku.
Semuanya tersungkur dalam sesal, terpekur dalam hikayat, terhuyung mengusung munajat. Tergambar jelas dalam temaram ruangan-imaji ruang kubur bagi para pendosa-rangkaian perbuatan yang menistakan titah Illahi. Setiap perbutan dosa yang membayang, membuncahkan derai air mata.
Lamat-lamat terengar suara terbata dalam isak tangis. Perlahan. Sebuah pengakuan.
“Astagfirullahal adziiim……ampuni aku yaa Allah…begitu banyak dosa yang telah hamba lakukan selama ini…..lima waktu yang engkau perintahkan seringkali tergadaikan dalam lezatnya dunia…ya Allah…..
Dzuhur….Kulalui dalam sendu gurau sambil makan siang atau terbenam dalam tumpukan tawa, meleleh bersama genangan pelumas, tenggelam dalam deru mesin dan terkapar di tengah kengkuhan.
Ashar…. kudapati dalam perjalanan pulang diantara debu jalanan dan asap knalpot. Kadang menguap bersama peluh di ujung senja.
Maghrib… dalam ketergesaan tayangan televisi yang sedang menayangkan iklan. GP500 dan berita-berita terkini jadi pembuai syahwatku.
Isya…. aku berkilah “shalat isya kan boleh dilambatkan dan waktunya panjang?” sampai aku terlalu mengantuk untuk melaksanakannya. Atau, ‘ah, tanggung acaranya sedikit lagi selesai’. Dan, aku terlelap di buai televisi.
Shubuh….menguap bersama embun pagi terpanggang matahari pagi”.

Ditutup dengan teriakan tertahan….”Allaaahu akbar…Laailaahailallaaaaah…!”
Berharap beban di dadanya yang sesak oleh sesal akan dosa-dosa terangkat bersama takbir dan Tahlil.
Ada yang tak kuasa berkata-kata. Hanya merintihkan takbir dan tahlil dalam desahan manja. Ingin bermanja-manja dengan sang Maha Pencipta dan mewakilkan perasaan cintanya yang saat itu membuncah dalam rintihan takbir. “Allaaaahu Akbaar….Laailaaha Illallaaah…….” Seperti kita bermanja-manja dengan orang yang paling kita sayangi. Tiada suasana seindah itu.
Kupikir, andai saja tidak dikendlikan oleh sang triner, seisi ruangan akan keluar ruangan dan berlarian ke jalan sambil berteriak – teriak “akulah kebenaran sejati” seperti yang dilakukan Al-Hallaj. Mungkin sepeti inilah sensai yang dirasakan oleh para sufi saat mengalami ekstase dalam ritual meditasinya. Satu keadaan dimana ide berhamburan namun kesimpulan gagal menyambung bagian pendahuluan, menurut Ziauddin Sardar dalam ‘Desperately Seeking Paradise’.
Memang terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa ini adalah sufisme modern, karena prinsip-prinsip sufisme-ritual dan emosional-, yang telah dirumuskan oleh para tokoh sufi tradisional, tidak terpenuhi seluruhnya. Tapi, satu fenomena mutakhir telah berhasil dibidik oleh Prof. Dr, Guy Hendrik dan Kate Iedman, “Saat ini tren perusahaan-perusahaan raksasa dunia sudah mengarah pada aspek spiritual dalam pengembangan SDM. Anda akan menemukan para sufi korporasi bukan di tempat peribadahan tradisional, namun justru di perusahaan – perusahaan raksasa modern internasional. Mungkin dari sisi konsep, internalisasi sifat-sifat Allah dari Asmaul Husna, bisa dibilang refresentasi dari kefanaan sebagai definisi pengalaman sufistik. Ide peleburan dan penyatuan mahluk dengan sang Khalik dalam sufi tradisional, dibaca sebagai visi totalitas pengabdian hidup lillahi ta’ala.
Aku memang punya masalah dengan motif politis mengatas namakan agama. Tidak sedikit orang yang membungkus kepentingannya dengan kalimat toyibah. Hanya itu. Selebihnya…….aku begitu menikmati tetes demi tetes air mata ke-fanaan-ku…..
Astagfirullaahal’adziim…….Allaah akbar….Laailaha illallaah…..

Aku mengerang menahan pedih. Baying-bayang azab Illahi menjilati kalbuku. Semakin menambah pedih. Tidak ada yang lebih memilukan selain membayangkan anak-anakku kelak meraung-raung di dasar jahannam seraya memanggil-manggil aku, bapaknya, meminta tolong.
“Bapak….bapak….tolonglah aku. aku takut. Aku tidak mau di siksa di neraka. Aku tidak tahan lagi….panaaaaasss…..angkat aku bapak….ampuuuuuuun….ya Allaaaaaah…..”
Lolongan anakku tenggelam dalam gelegak jahanam. Lalu….
Sebuah tangan terulur dari balik barisan tubuh-tubuh lunglai calon penghuni neraka. Aku ingat tangan itu sewaktu di dunia. Tangan halus lembut dan putih. Aku amati lekat-lekat. Ada tahi lalat cukup besar di bagian dalam lengannya. Aku sering meramalkan bahwa pemilik tahi lalat di lengan itu sebagai orang yang kreatif dan cekatan. Aku suka mengelus-elus lengan itu sambil mendekap tubuhnya dari belakang sebelum tidur saat malam-malam penuh kebahagiaan.
“Istriku…..” aku bergumam hanya selangkah lagi di samping barisannya.
Aku semakin yakin dialah istriku saat dia menolehkan wajahnya ke arahku. Wajahnya lelah dan kusam.
“Suamiku……” lirih dalam ketidakberdayaan. “Tolong, aku…” suaranya tercekat.
Tangannya menjulur berusaha meraih jubah putihku. Matanya disesaki oleh air mata.
Aku ingat…
Aku terlalu sayang padanya dan takut kehilangan dia sampai aku tidak tega membangunkannya untuk shalat shubuh. Aku sebagai imam yang bertanggung jawab memimpin keluarga telah gagal mengenalkan Allah pada keluargaku, anak-anakku dan istriku.
Aku hanya bisa menyentuh ujung jarinya sebelum dia menjauh.
“Suamiku…..tolong akuuu….mintakan ampun kepada Allah dan syafaat kepada Rosulullah untukku. Aku takut sekali…..tolong aku suamikuuuu…..tolooong….ampuuun ya Allaaaaah……..”
Kata-katanya berakhir di ujung jeritan. Ditutup dalam gelegar Jahannam menyambut dengan suka cita tubuh istriku. Menggema dalam gendang telingaku.
Langkahku tertahan saat sebuah suara menggema memanggil namaku. Allah? Engkau memanggilku ke Surga? Wajahku berseri-seri. Inilah saat-saat yang aku nantikan. Kerinduanku padaNya akan terobati. Ya, Rosulullah….aku juga rindu padamu. Engkau pasti ada di sisi kekasihmu. Aku tidak sabar lagi. Bersiap untuk berlari menyongsong kedamaian surga.
“Tunggu! Engkau harus pertanggung jawabkan nasib anak dan istrimu! Engkau telah lalai, manusia!”
Sekejap tubuhku diseret menuju pintu neraka.
“Ya, Allah….ampuni akuuu….aku tidak sanggup menahan api neraka.”
Tubuhku terus diseret. “Ampuuuuun yaa Allaaaah…….Allaahu Akbar…Laailaaha Illallaaah……!”

Salam 165!
Untuk alumni training ESQ Reguler angkatan VI Manado.

Manado Berdzikir

Haru.
Ini adalah pengalaman pertama saya mengikuti kegiatan seperti ini. Sebagai anak muda yang hidup dan besar di lingkungan yang tidak begitu religius -meminjam pemahaman kebanyakan orang, lingkungan yang religius adalah lingkungan pesantren- dan intelektualitas (sebetulnya aku tidak percaya diri dengan istilah ini) dan banyak menghabiskan waktu di organisasi modern, mengikuti Majlis Dzikir saya rasakan hanya buang-buang waktu. Saya merasa kawatir kepala saya hanya akan dikuasai klenik dan tahyul. Belum lagi jika terbius oleh ulama kharismatis. Kultus individu, konsekwensi tak terelakkan. Tidak hanya berhenti di situ, politisasi menjadi muaranya. Seperti itulah yang terjadi dengan Istigotsah.
Majlis Dzikir malam itu memang berbeda. Tidak ada muatan politis.
Kenapa harus ribuan kilometer jauhnya dari rumah aku baru bisa merasakan nikmatnya dzikir bersama? Itu pun terjadi setelah setahun hidup di bumi minahasa.

Bangga.
Tidak pernah aku merasa sebangga ini sebagai muslim.

Tidak percaya.
Berkali-kali aku keluar masuk Mega Mall, Hypermart dan banyak pertokoan melalui jalan-jalan utama kota Manado, gadis berjilbab yang aku temui bisa aku hitung dengan jari. Tapi, malam itu…….ratusan…mungkin ribuan, saya tidak tahu pasti, jilbab putih memenuhi lebih dari separuh lapangan. Dipisahkan oleh pembatas untuk pria dan wanita.

Lapangan tempat diselenggarakannya Dzikir tersebut berada di depan Kantor Pemerintahan Kota Manado. Sejauh mata memandang hanya terlihat warna putih berkibar. Kalimat Toyyibah menggema di angkasa Manado. Menguap menghalau embun yang mulai turun. Menyirami setiap hati yang tengah bergurun.
Hatiku tergetar. Larut dalam kelembutan alunan kalimah Allah.